Oleh:
Fokky Fuad Wasitaatmadja
Idul Fitri tidaklah terlepas dari makna kultural bagi manusia Nusantara. Idul Fitri juga simbol komunalitas manusia yang terikat tidak hanya oleh manusia lainnya, tetapi sekaligus ia terikat oleh lingkungan historisnya.
Ketika Idul Fitri tiba maka setiap individu berupaya membangun kembali semangatnya melalui tradisi mudik. Disitu kita kembali melihat asal muasal serta napak tilas perjuangan hidup. Mudik menghubungkan kesadaran sejarah kita, bahwa jejak kita di kota berawal dari sebuah tumpuan kuat ketika kita dulu berada di kampung halaman.
Kini relasi kesejarahan itu terhenti oleh hadirnya sebuah virus. Ia merubah makna Idul Fitri yang selama ini sangat khas dengan mudik sebagai karakter kulturalnya.
Ratusan ribu bahkan jutaan manusia tertahan di rumahnya masing-masing di tengah perayaan Idul Fitri. Tidak lagi bersalaman di kampung, bahkan tak ada lagi tamu yang berkunjung. Semua tertahan oleh Covid-19, yang merubah pemahaman kita atas makna Idul Fitri.
Sungkeman antar anggota keluarga, kerabat, dan teman kini dihubungkan oleh sebuah perangkat teknologi. Kini kita mencoba menyusun makna baru, bahwa relasi kultural mudik tidak lagi diartikan sebagai relasi pertemuan fisik, tetapi ikatan batiniah. Kita berupaya untuk memberi makna bahwa kehadiran fisik di kampung halaman diubah melalui kehadiran hati dan semangat baru. Mungkin Covid-19 ini berupaya memberi edukasi baru bahwa kehadiran hati kita di kampung halaman lebih dibutuhkan dibanding hadirnya fisik. Ada penanaman nilai baru di tengah nilai kultur komunal bahwa Idul Fitri hadir tanpa mudik. Bahwa Idul Fitri adalah relasi manusia dan Tuhan yang lebih utama.
Memaknai kembali hakikat manusia yang dalam, bahwa Idul Fitri bukan semata pulang ke kampung halaman. Idul Fitri adalah kembali kepada kebersihan jiwa dan batiniyah manusia. Mengingatkan kita ada kampung halaman kita yang sejati, dimana kita semua akan kembali. Kembali kepada kampung negeri akhirat.
Kita dimintaNya merenung kembali atas asal muasal kampung negeri tiap jiwa anak Adam. Sejenak Tuhan meminta kita untuk menengok sebuah kampung asal kita dahulu, dimana Adam dan Siti Hawa bermukim. Disanalah kita akan dikembalikan. Sejatinya Covid-19 ini makhluk Tuhan yang hadir untuk mengajak kita merenung atas hakikat kita sebagai manusia yang memiliki kampung abadi, yaitu akhirat.
Menyadarkan kita bahwa di sana kita semua akan mudik, dikembalikan kita pada kampung yang sejati. Kita mencoba melihat sejenak bahwa sejak puluhan tahun kita mudik ke kampung halaman dengan segala gempitanya, kini kita sejenak disadarkan adanya kampung akhirat dimana kita kelak akan berbondong pulang.
Suasana Idul Fitri kali ini begitu berbeda, karena Tuhan hendak mengingatkan kembali sejauhmana kita gegap gempita menyiapkan mudik ke negeri akhirat kelak melalui perenungan mandiri. Disana kelak yang akan menyambut bukan hanya keluarga juga orangtua yang kita cintai, tetapi juga akan disambut oleh Rasulullah Saw yang begitu merindukan kita sebagai umatnya (HR. Bukhari).
Persiapan bertemu dengan Sang Nabi Saw adalah melalui persiapan batiniah ruhaniyah kita. Beliau yang begitu cintanya kepada umatnya, hingga Beliau Saw tidak akan pernah ikhlas jika ada umatnya masih belum bisa masuk ke dalam FirdausNya. Inilah makna baru Idul Fitri dan relasi mudik kali ini.
Sejenak kita dimintaNya merenung terdiam di dalam rumah, mengingat akan sebuah kampung dimana air sungainya adalah madu yang mengalir. Di kampung inilah kelak kita akan berjumpa dengan Allah Swt. Sejenak kita hendak diingatkan olehNya ada kebahagian hakiki di sana kelak. Di sana di kampung kita, dimana kerinduan kepada Allah Swt dan Sang Nabi Saw akan tercurah. Untuk itu seberapa besar persiapan kita lakukan dalam menghadapi mudik untuk bertemu denganNya dan Sang Nabi Saw?
Jakarta,
3 Syawal 1441 H./26 Mei 2020
Penulis adalah Dosen Tetap
Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, dosen tidak tetap Program Magister Hukum Universitas Esa Unggul dan STKIP Arrahmaniyah Depok.
